1. Pada
periode 1951 – 1960 Indonesia mengekspor minyak nilam sekitar 24 – 108
ton/tahun dan daun nilam kering sekitar 24 – 54 ton/tahun atau setara 1260 kg
minyak/tahun. Pada periode 1979 – 1983 ekspor minyak nila Indonesia meningkat
dengan rata-rata 522,80 ton minyak/tahun. Harga minyak nilam Indonesia di
pasaran luar negeri berkisar antara US$ 18,75 – 20,00 per Kg CF (Agustus 1988)
dibandingkan dengan yang berkisar antara US$ 17,00/Kg CF. Dan pada bulan
Februari 1989 selisih harga itu semakin tinggi yaitu minyak nilam Indonesia
terjual US$ 18,50 – 18, 75 Kg/CF sedangkan harga jual nilam ex RRC jauh dibawah
yaitu US$ 15 – 16,00 per kg CF. Negara pengimpor minyak
nilam terutama adalah Amerika Serikat, Perancis, Inggris, Jerman, Singapura
dll.
Kegiatan
distribusi nilam terbagi atas beberapa bagian
-
Pemasaran pada tingkat petani ke
pengumpul atau pengusaha pemilik kilang minyak nilam. Para petani menjual produknya
dalam bentuk 2 produk yaitu penjualan daun kering dari petani kepada para
pemilik kilang dengan harga penjualan sekitar Rp. 3.000,00 std Rp. 3.500/kg dan
selanjutnya pemasaran minyak dilakukan oleh pemilik kilang, penjualan minyak
nilam oleh petani setelah diolah di kilang kepada para pengumpul lokal.
-
Pemasaran minyak nilam dari pengumpul
lokal atau pemilik kilang ke pengumpul besar/ekspor.
-
Pemasaran minyak nilam oleh eksportir
(PKT) ke importir/konsumen di luar negeri. Perusahaan eksportir mencari target
pemasaran melalui internet dan juga perusahaan importir yang telah menjadi
langganan mereka. Harga jual pada masing-masing tingkatan tersebut satu sama
lain namun harga pada masing-masing tingkatan ditentukan oleh harga pada
tingkatan ke-3 yaitu harga penjualan ekspor. Para pengumpul/lokal biasanya
memperoleh informasi harga dengan mengadakan penawaran kepada beberapa
eksportir dan menjual kepada penawaran yang tertinggi. Pola pemasaran yang
terbuka ini akan menguntungkan para pemasok lokal namun belum tentu
menguntungkan bagi petani karena informasi harga ekspor ke petani tidak sampai
kepada mereka.
2. Penggunaan
minyak nilam dapat digunakan secara langsung sebagai parfum pada selendang,
tenunan, pakaian, karpet,industri sabun, kosmetik, dupa danlainnya sebagai
pewangi. Selain itu fraksi minyak nilam juga banyak digunakan sebagai zat
pewangi atausebagai zat pengikat (fiksatif) zat pewangi lain karena minyak
nilam memiliki titik didih yang tinggi sehingga tidak mudah menguap.Industri
yang menggunakan fraksi minyak nilam diantaranya industri parfum (pewangi
ruangan, rosephix,cologne, spray fixsative, dan lain-lain);industri kosmetik
(kosmetik untuk mandi, kosmetik wangi-wangian,kosmetik tradisional, dan
lain-lain);industri obat-obatan (obat kulit, obatanti bau badan, dan lainnya);
industri makanan dan minuman (permen,minuman, dan lainnya); serta indutri sabun
(sabun cuci, sabun mandi, sabun cuci piring, dan lainnya).Pemakaian yang luas
minyak nilam baik sebagai pewangi maupun zat fiksatif memberikan dampak pada stabilitas
permintaan minyak nilam.Selain itu berkembangnya permintaan produk berbahan
baku minyak pewangi juga akan mendorong peningkatan permintaan minyak pewangi
termasuk Minyak Nilam.
3. Nilam
setelah selesai proses penyulingan tidak memiliki banyak kelemahan, tetapi
setiap produk apapun yang merupakan hasil dari Pertanian pasti memiliki waktu
kadaluarsanya begitu pun pada minyak nilam itu sendiri. Kelemahan banyak
terdapat ketika tanaman nilam itu dibudidayakan pemberian air diatur sesuai
dengan umur tanaman nilam pada awal fase pertumbuhan memerlukan banyak air
namun jumlah itu akan terus berkurang dan juga penyakit serta hama yang sering
menganggu proses pertumbuhan tanaman ini. Minyak nilam sering dicampur dengan
bahan lain ketika dipasarkan, ini meruapakan salah satu kelemahan dari produk
ini.
4. Sampai
saat ini Daerah Istimewa Aceh, terutama Aceh Selatan dan Tenggara, masih
menjadi sentra tanaman nilam terluas di Indonesia (Ditjen Perkebunan, 1997).
Disusul Sumatra Utara (Nias, Tapanuli Selatan), Sumatra Barat, Bengkulu,
Lampung, Jawa Tengah
(Banyumas, Banjarnegara), dan Jawa Timur (Tulungagung) serta SulawesiTengah.
Umumnya, masih didominasi perkebunan rakyat berskala kecil. Potensi daerah
inilah yang nantinya dapat dijadikan peluang bisnis
yang menjanjikan. Karena permintaan minyak atsiri diberbagai pasar luar negeri
cukup banyak. Kontribusi ekspor minyak atsiri relatif kecil terhadap nilai
devisa total Indonesia. Namun, ternyata terjadi kenaikan permintaan setiap
tahun. Bahkan peningkatannya cukup tajam. Sehingga peluang
usaha minyak atsiri dalam hal pengembangan
industrinya sangatlah terbuka lebar. Berdasarkan data-data yang diberikan
oleh seorang eksportir minyak nilam kebutuhan minyak nilam dunia berkisar
antara 1.100 – 1.200 ton/tahun. Sedangkan pasokan minyak nilam saat ini kurang
lebih 900 ton/tahun sehingga ada peluang pasar sebesar 200 ton/tahun.
5. Hingga
saat ini Indonesia masih merupakan pemasok komoditas minyak nilam yang
terpenting di dunia dimana posisi pasokan mencapai diatas 90%. Posisi ini
kelihatannya akan terus di pegang Indonesia karena tidak ada negara kompetitor
lain yang mengurangi dominasi Indonesia. Minyak nilam merupakan bahan nabati
yang tidak dapat dibuat bahan tiruan secara buatan (sintetis) sehingga tidak
memungkinkan di hasilkan produk sintetsi atau produk suplemen sehingga pasokan
ini sifatnya akan lestari. Perkiraan kebutuhan nilam dunia saat ini sekitar
1000 – 2000 ton/tahun dengan tingkat pasokan sekitar 900 ton/tahun. Upaya untuk
memacu pertumbuhan produksi ini pada tingkat tertentu akan sangat riskan pada
sisi permintaannya. Upaya pengembangan ini perlu dilakukan adalah menata dan
rekasaya teknis budidaya dan pengolahan pasca panen agar diciptakan pola usaha
yang substansial dengan sasaran tercapainya tingkat efisiennya tingkat
efisiensi dan peningkatan mutu. Pengembangan usaha budidaya nilam akan
memberikan dampak positif kepada perekonomian nasional maupun regional karena
komoditi ini menyumbang devisa negara dan membuka lapangan kerja bagi
masyarakat sekitarnya.